tato sebagai budaya kontemporer. sebuah wawancara

Beberapa waktu yang lalu saya diminta oleh seorang mahasiswa, Agung bule namanya, untuk membantu tugas akhir semester pacarnya, Nimas, sebagai narasumber yang memberikan opini tentang tato sebagai budaya kontemporer. Dari brief pertanyaan yang diberikan, maka saya memutuskan untuk melihatnya dari sisi posmodern. Wawancara ini cukup singkat dan santai, dilakukan di ruang dosen, dan saya akan membagikan hasil wawancara tersebut, yah, sebagai selingan di kala makan siang atau bacaan ringan menjelang tidur. Apa yang saya tulis di bawah sebagai jawaban dari pertanyaan memang sangat singkat, tidak menjelaskan budaya kontemporer, posmodern, maupun tato secara komprehensif, karena memang waktu permintaan menjadi narasumber dan waktu hari wawancara juga sangat singkat, hanya satu hari 😀 . semoga bermanfaat. ………………………………………………………………….

1. Apa yang dimaksud dengan budaya kontemporer?

Budaya kontemporer, secara singkat dapat dipahami sebagai budaya kekinian, atau apa yang terjadi pada pemikiran (ketakbendaan) dan apa yang diwujudkan oleh manusia (kebendaan) saat ini. Untuk lebih memahaminya, maka kita harus melihatnya perjalanan budaya itu sendiri yang tidak terlepas dari konsep jaman, yaitu tradisional, modern dan posmodern. Tiap manusia yang hidup pada masa tersebut memiliki cara pandang, pemikiran, nilai, maupun hasil ciptaannya berupa benda yang berbeda-beda.

Budaya kontemporer sendiri memiliki kedekatan dengan konsep posmodern, namun bukan berarti konsep-konsep yang terbentuk pada era tradisional dan modern telah hilang. Di banyak tempat, kedua konsep jaman tersebut pun juga masih hidup dan bertahan. Ada pula yang hilang, ada juga yang bersinergi dengan konsep jaman yang lain.

2. Bagaimana ciri-ciri budaya kontemporer?

Di samping hal-hal mengenai kemajuan sains dan teknologi, budaya kontemporer, seperti saya katakan di atas, dekat dengan konsep posmodern, yang dapat dilihat ciri-cirinya: (1) Semakin lentur dan kaburnya eksistensi suatu makna/konsep/nilai yang telah dianut sebelumnya; (2) Pluralitas. Hal ini dekat dengan ciri pertama. Pluralitas dapat dipahami sebagai reaksi atas konsep dikotomi yang dibawa oleh modernisme. Pluralitas merupakan penghargaan akan keberagaman, serta upaya aktif di dalamnya untuk mengembangkan dialog serta sikap toleransi. Di sini, beberapa hal baru, yang sebelumnya mungkin dianggap sebagai sesuatu yang tabu, menjadi diterima, dan; (3) Perayaan gaya hidup. Hal ini dekat dengan konsep pluralitas dan eklektik. Berbeda dengan konsep modern yang cenderung dikotomis dan kaku, kontemporer lebih ‘cair’, terbuka, dan eklektis, dalam pengertian, pada konsep modern, apabila kita ingin menjadi orang modern, maka kita harus tampil beda dengan orang yang ‘tidak modern’. Di era kontemporer, hal tersebut menjadi kabur. Seseorang bisa bergaya seperti orang yang tidak modern misalnya meminjam style retro, 80-an, sebagai ekspresi dirinya, dan hal tersebut diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang berbeda, dan seringkali pula diikuti oleh orang lain (akhirnya menjadi populer). Begitu juga dengan berbagai gaya hidup yang lain, yang meskipun penampakannya dapat dikatakan berada pada titik ekstrim/tabu menurut budaya tertentu.

3. Apa yang dimaksud dengan tato menurut anda sendiri?

Saya dapat mengatakan bahwa tato adalah seni dekorasi tubuh (body art) dan dekonstruksi tubuh. Seni dekorasi tubuh, seperti cara pandang umum yaitu seni membuat gambar pada tubuh, sedangkan dekonstruksi tubuh dapat dipahami sebagai upaya seseorang untuk melakukan transformasi pada tubuhnya, yaitu melalui gambar. Dalam hal ini, tubuh bagi seseorang yang ditato bukan hanya dipahami sebagai tubuh ‘an sich’; fisikal, biologis, alat reproduksi, dsb, tetapi juga sebagai medium. Ada nilai-nilai yang berbeda yang terbentuk pada tubuh. Inilah yang menurut hemat saya sebagai konsep dekonstruksi akan tubuh.

Dua hal tersebut menurut saya adalah manifestasi dari empat hal; (1) Tradisi. Tato saya pandang sebagai bentuk identitas yang terbentuk dari tradisi yang hidup di lingkungan etnik tertentu, yang secara umum bersifat turun-temurun, seperti identitas akan status, tingkat kedewasaan, dsb.; (2) Simbol subkultural. Tato sebagai manifestasi dan simbol ‘kemeng-ada-an’ seseorang di dalam sub budaya tertentu (subculture), misalnya ketika seseorang menjadi seorang bagian dari kelompok tertentu seperti punk, skinhead, seniman, preman, geng, dsb, tato dalam hal ini merupakan simbol identitas dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut. Pada umumnya wujud tato sebagai simbol subkultur adalah gambar-gambar yang merepresentasikan kultur tersebut; (3) Simbol diri. Simbol diri di sini saya pandang sebagai manifestasi atau ekspresi seseorang mengenai berbagai hal yang kemudian direpresentasikan dalam bentuk tato, misalnya fetis, cinta, perlawanan, pemberontakan, bahkan sampai medium dokumentasi. Di sini tato lebih sebagai perwujudan dari dimensi diri seseorang mengenai dunianya, dan; (4) Gaya hidup. Di sini, tato saya pandang sebagai perayaan gaya hidup seseorang di masa sekarang, yang bisa jadi karena berbagai faktor, bisa tren (tato menjadi sesuatu yang populer), gengsi, dsb. Tato sebagai gaya hidup ini juga dekat dengan estetikisasi kehidupan sehari-hari.

4. Menurut Anda apa yang dimaksud dengan tato sebagai budaya kontemporer?

Tato sebagai budaya kontemporer menurut saya dapat mengacu pada penanda dari budaya kontemporer yang telah saya sebutkan di atas yaitu; (1) tato merupakan representasi pluralitas yang terjadi pada masyarakat mengenai makna/konsep/nilai dari tato. Tato, apabila kita melihatnya dari sisi tradisional, ya sebagai tradisi, yang memang menjadi suatu kewajiban pada etnik tertentu. Tidak ada perkembangan maupun perubahan pada makna/konsep/nilai pada tato. Dari sisi modern, di budaya tertentu, ada konsep dikotomi. Bertato sering dipersepsi sebagai seseorang yang nakal, sesekali nyleneh, preman, musisi, dan hal-hal lain yang berbeda dengan orang awam–dalam konsep budaya tertentu. Dalam hal ini, ada dua hal yang akan dipertentangkan mengenai tato. Nah, tato saat ini seringkali tidak lagi dipersepsi secara dikotomis, namun dapat diterima sebagai sesuatu yang biasa. Ada makna kewajaran pula. Di sinilah pluralitasnya, ada banyak makna dan nilai baru yang hadir mengenai (ber)tato.; (2) Tato dipahami sebagai representasi perayaan gaya hidup seperti yang ditawarkan oleh konsep posmodern. Saat ini, dapat dikatakan orang cenderung memiliki kebebasan untuk mengekpresikan dirinya dalam berbagai hal, dan salah satunya adalah bertato.

5. Apa pandangan Anda tentang tato sebagai budaya kontemporer?

Saya dapat memberikan dua pandangan di sini, Pertama, karena saya adalah anak seni rupa, dan pengkaji seni visual, fenomena tubuh yang ditato dan semakin populer di kehidupan kontemporer adalah sesuatu yang menarik, dan bukan sesuatu yang aneh. Sisi menariknya adalah masih bertahannya seni dekorasi tubuh yang, kalau bisa dikatakan, sudah ada sejak jaman batu, dan sekarang masih ada, meskipun dengan teknik, material dan ekspresi rupanya yang berbeda. Kedua, saya melihat bahwa fenomena tato yang populer saat ini, menguatkan ciri dari budaya kontemporer itu sendiri mengenai lentur atau kaburnya eksistensi suatu makna/konsep/nilai sebelumnya–yang–dalam hal ini, tato. Hal ini sudah pasti akan membentuk suatu fenomena budaya baru di masa yang akan datang.

6. Apakah Anda setuju tentang tanggapan bahwa tato disebut sebagai budaya kontemporer? Apa alasannya?

Saya kurang setuju dengan hal tersebut, karena tato tidak hanya wujud dari budaya kontemporer atau saat ini. Tato telah ada sejak jaman dulu, dan secara literatur, ada sejak jaman batu. Tato dalam konteks budaya kontemporer lebih pada apa yang telah saya sampaikan sebelumnya, yaitu tentang perubahan makna/konsep/nilainya. 🙂